PERAN
VITAMIN D PADA KANKER
1.
KANKER
Kanker adalah suatu
kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya,
sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali
(Rosai J, 2004).
Transformasi
sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal
dalam suatu proses rumit yang terdiri dari : (Kartawiguna E, 2001)
a) Fase
inisiasi yaitu fase dimana berubahnya sel normal tubuh menjadi sel
yang peka. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan
dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan
genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen.
b) Fase promosi. Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak
dihidupkan oleh zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat
menginduksi perubahan kearah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi,
hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang. Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi
dalam kultur jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi promotor adalah zat
proliferatif. Promosi adalah proses yang menyebabkan sel
terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain
(promotor).
c) Fase progresi. Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada
awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium
metaplasia berkembang progresif menjadi
stadium displasia sebelum menjadi neoplasma.
Terjadi ekspansi populasi sel-sel
ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel menjadi kurang responsif terhadap
sistem imunitas tubuh dan regulasi sel.
2.
VITAMIN D
Vitamin
D merupakan vitamin larut lemak dan dikenal sebagai sunshine vitamin karena paparan sinar matahari penting untuk
memproduksi vitamin D dengan bantuan sinar ultra violet dan kolesterol di
kulit. Oleh karena vitamin D dapat diproduksi dalam tubuh, mempunyai target
organ spesifik dan tidak perlu disuplai dari diet maka sering dianggap sebagai
hormon (Mahan LK, 2008).
Senyawa
vitamin D yang penting pada manusia adalah vitamin D3 (kolekalsiferol) dan
vitamin D2 (ergokalsiferol). Meskipun disebut vitamin namun tidak esensial
terdapat dalam diet karena vitamin D dapat disintesis dalam tubuh dengan
paparan sinar matahari (Mahan LK, 2008).
Vitamin D3 dapat
dibuat di kulit oleh sinar UVB. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi vitamin
D yang adekuat dari kulit tergantung pada kekuatan sinar UVB, lama paparan, latitude, dan jumlah pigmen kulit (Kulie
T, 2009).
Meskipun bentuk aktif vitamin D adalah 1,25(OH)2D
(1,25-dihidroksivitamin D, 1,25-dihidroksikolekalsiferol), namun tidak dianggap
sebagai biomarker yang baik karena mempunyai waktu paruh pendek dan kontrol
homeostatis yang ketat. Kadar 25(OH)D serum adalah biomarker status vitamin D
yang sangat baik, yang menunjukkan sintesis kulit dan asupan makanan. Penelitian menunjukkan bahwa kadar
25(OH)D lebih stabil daripada vitamin D yang sangat dipengaruhi oleh paparan
UVB, dan 1,25(OH)2D serum
tergantung pada kadar hormon paratiroid serum. Karena waktu paruhnya yang
relatif panjang (12,9 hari ± 3,6 hari) maka kadar 25(OH)D serum dipertimbangkan
sebagai standar terbaik untuk menilai status vitamin D (WHO, 2008).
Kadar vitamin D yang adekuat
tergantung pada usia sehingga definisi defisiensi vitamin D bervariasi. Ambang
batas yang tepat untuk defisiensi vitamin D masih diperdebatkan. Yang paling
banyak diterima adalah kadar optimal serum 25(OH)D adalah 35-55 ng / ml. Satu
penelitian menunjukkan bahwa untuk semua
hal yang berhubungan dengan kesehatan, kadar 25(OH)D serum yang paling optimal
setidaknya 30 ng / ml, dan untuk pencegahan kanker adalah antara 36 dan 48 ng /
ml. Rata-rata pria dan wanita dewasa membutuhkan asupan setidaknya 20-25 mcg
(800-1.000 IU) per hari vitamin D untuk mencapai kadar 25(OH)D serum 30 ng / ml
(Gupta
D, 2011).
American Endocrine Society
telah membuat pedoman tentang vitamin D yang menetapkan defisiensi terjadi jika
kadar 25(OH)D dalam darah < 50 nmol/l (setara dengan 20 ng/ml). Beberapa
penelitian menyimpulkan sebagai berikut (Catie, 2011) :
·
Defisiensi vitamin D jika kadar 25(OH)D ≤ 49 nmol/l
·
Insufisiensi vitamin D jika kadar 50 – 74
nmol/l
·
Normal jika kadar ≥ 75 nmol/l.
Otak,
prostat, payudara dan kolon, serta sel imun memiliki
reseptor vitamin D (VDR) dan berespon terhadap1,25(OH)2D. Selain itu, jaringan dan sel tersebut mengekspresikan enzim 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase yang mengubah 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D. Bentuk aktif vitamin D telah terbukti
mempunyai efek regulasi sel
yang kuat dalam sel selain keterlibatannya dalam homeostasis kalsium. Efek tersebut diperkirakan dimediasi melalui VDR. Pengikatan VDR oleh
1,25(OH)2D menyebabkan beberapa efek seluler, termasuk induksi diferensiasi dan apoptosis dan inhibisi proliferasi, angiogenesis dan potensi metastatik. Dengan demikian,
vitamin D diyakini memainkan peran penting dalam etiologi dan pengobatan kanker (Gupta D, 2011).
Absorpsi,
Transportasi dan Penyimpanan
Vitamin
D diabsorpsi dalam usus halus bersama lipid dengan bantuan cairan empedu.
Vitamin D dari bagian atas usus halus diangkut oleh DBP (vitamin D binding protein) ke tempat-tempat penyimpanan di hati,
kulit, otak, tulang dan jaringan lain (Almatsier S, 2009).
Metabolisme
Vitamin D
Sintesis
endogen vitamin D3 terdiri dari reaksi fotokimia yang diinduksi oleh UVB yang
menyebabkan pembentukan previtamin D3 dari provitamin D3 7-dehidrokolesterol
(7-DHC) pada lapisan kulit basal dan suprabasal. 7-DHC dibentuk dikulit dari
kolesterol oleh ∆7 reduktase yang terdapat pada keratinosit
epidermal. Sekitar 65% 7-DHC per unit ditemukan di epidermis dan sisanya di
dermis. Spektrum kerja UVB untuk produksi previtamin D3 antara 260 – 315 nm,
dengan efektivitas maksimum pada 297 – 303 nm (WHO, 2008).
Efektivitas
UVB untuk pembentukan previtamin D3 di kulit dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk molekul yang mengabsorpsi UVB seperti melanin, DNA, RNA, protein, dan
kandungan 7-DHC di kulit (WHO, 2008).
Previtamin
D3 kemudian mengalami isomerisasi non enzimatik untuk membentuk vitamin D3 dan
proses ini tergantung pada temperatur, pada temperatur yang lebih tinggi akan
lebih banyak previtamin D3 yang diisomerisasi menjadi vitamin D3. Vitamin D3
yang dibentuk di kulit selanjutnya ke aliran darah oleh DBP dan α-globulin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap vitamin D dan metabolitnya. Ekstraksi
vitamin D yang terus menerus dari kulit mencegah akumulasi lokal vitamin D3 dan
memungkinkan isomerisasi previtamin D3 menjadi vitamin D3 tetap
berlangsung (WHO, 2008).
Konversi
7-DHC yang dipicu oleh UVB menjadi previtamin D3 merupakan reaksi cepat yang
hanya membutuhkan waktu beberapa detik. Sebaliknya waktu paruh isomerisasi
previtamin D3 menjadi vitamin D3 di kulit sekitar 2,5 jam. Kadar maksimum
vitamin D3 dalam sirkulasi terjadi dalam 12 – 24 jam setelah paparan UVB (WHO, 2008).
Jumlah
vitamin D yang disintesis oleh kulit sangat kecil dibandingkan dengan kadar
prekursor 7-DHC. Kulit yang dikenai radiasi ultraviolet secara in vivo memproduksi sekitar 25 ng
vitamin D3 per cm2 sesuai kecepatan konversi 7-DHC menjadi vitamin
D3 1,3%. Jumlah vitamin D3 yang disintesis di kulit dapat berbeda jika
menggunakan sumber UV buatan dibandingkan sinar matahari alami (WHO, 2008).
Vitamin
D3 dibentuk di dalam kulit oleh sinar ultraviolet dari 7-DHC. Faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan provitamin D3 adalah pigmentasi, penggunaan sunscreen dan lamanya waktu paparan.
Vitamin D harus diaktifkan melalui dua proses hidroksilasi. Yang pertama
terjadi di hati, yang disintesis oleh enzim
25-hidroksilase (CYP27A1), menghasilkan
kalsidiol [25(OH)D] yang lima kali lebih aktif daripada vitamin D3. Bentuk
metabolit ini yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi. Proses hidroksilasi
yang kedua terjadi di ginjal dengan bantuan 1-α-hidroksilase menghasilkan
kalsitriol [1,25(OH)2D]
yang 10 kali lebih aktif dari vitamin D3. Aktifitas 1-α-hidroksilase meningkat
dengan adanya hormon paratiroid akibat kadar kalsium plasma yang rendah,
sehingga terjadi peningkatan produksi 1,25(OH)2D. Aktifitas enzim ini menurun ketika kadar 1,25(OH)2D meningkat. Sebagian besar vitamin D disimpan dalam bentuk
25(OH)D dalam hati (Mahan LK, 2008 ; Horton-Szar D, 2007 ; Almatsier S, 2009). Jika jumlah 1,25(OH)2D cukup, enzim
CYP24A1 memetabolisme 1,25(OH)2D menjadi
1α,24,25-dihidroksivitamin D yang selanjutnya dikatabolisme menjadi asam
kalsitroat (WHO, 2008).
Fungsi
Vitamin D
Fungsi
vitamin D yang sudah banyak diketahui adalah mempertahankan homeostasis kalsium
dan fosfor yang terjadi melalui tiga cara. Yang pertama melalui ekspresi gen, 1,25(OH)2D di usus halus mempengaruhi transpor aktif kalsium yang
kemudian menstimulasi sintesis calcium
binding protein pada mukosa usus. Protein ini meningkatkan absorpsi
kalsium. Yang kedua, pada tulang hormon paratiroid sendiri atau bersama dengan 1,25(OH)2D atau estrogen merangsang pelepasan kalsium dan fosfor
dari tulang untuk mempertahankan kadar normal dalam darah. Yang ketiga di
ginjal 1,25(OH)2D meningkatkan
reabsorpsi kalsium dan fosfat di tubulus ginjal (Mahan LK, 2008). Penelitian
terbaru menemukan peran vitamin D terhadap sistem imun. Vitamin D dapat
memodulasi respon imun bawaan maupun adaptif (Aranow C, 2011).
Efek anti kanker dan
anti inflamasi vitamin D diatur melalui transkripsi gen oleh VDR dan melalui
kaskade sinyal non genomik. Vitamin D memblokir siklus sel dan memperlambat
pertumbuhan sel, memicu apoptosis, memodulasi angiogenesis dan mengatur
metabolisme dan sinyal prostaglandin. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa vitamin D dapat bekerja sinergis dengan
agen kemoterapeutik yang berbeda, namun belum pasti apakah vitamin D dapat
dimasukkan ke regimen kemoterapeutik pasien kanker (Kennedy DA, 2013).
Mekanisme
Kerja Vitamin D
Efek molekuler utama
1,25(OH)2D melalui transkripsi gen oleh ikatan dengan VDR yang merupakan
superfamili reseptor hormon steroid dari faktor transkripsi yang diaktivasi
oleh ligan. VDR dapat ditemukan baik di sitoplasma maupun nukleus sel target
vitamin D. Terikatnya 1,25(OH)2D dengan VDR memicu hubungan VDR dengan RXR
(retinoid X receptor) dan interaksi ini penting untuk aktivitas transkripsi
VDR. Banyak data menunjukkan bahwa heterodimerisasi diperlukan untuk migrasi
kompleks RXR–VDR–ligan dari sitoplasma ke nukleus dimana kompleks
1,25(OH)2D–VDR–RXR terikat dengan VDRE (vitamin
D–response elements) dalam DNA untuk mengawali transkripsi gen (Fleet JC, 2012).
Kalsitriol
bekerja melalui mekanisme genomik atau non genomik. Pada jalur genomik,
kalsitriol terikat dengan VDR intraseluler, yang selanjutnya diheterodimerisasi
dengan reseptor nuklear RXR (retinoid X receptor). Heterodimer terikat dengan
VDRE pada gen target dan menyebabkan regulasi transkripsi gen. Selain itu
kalsitriol mempunyai efek cepat yang tidak tergantung pada regulasi transkripsi
gen yang merupakan efek non genomik dan tidak dimediasi secara langsung melalui
interaksi reseptor-ligan-DNA steroid. Di sisi lain efek non genomik secara tidak
langsung mempengaruhi transkripsi gen melalui regulasi jalur sinyal
intraseluler yang menargetkan faktor transkripsi. Kalsitriol menginduksi
berbagai respon non genomik termasuk absorpsi kalsium intestinal, pelepasan
kalsium dari simpanan intraseluler, pembukaan kanal kalsium dan klorida dan
aktivasi protein kinase C, protein kinase A, PI3K dan fosfolipase C (Ma Y,
2010).
Efek farmakologik
1,25(OH)2D secara nyata melalui mekanisme yang dimediasi reseptor nuklear dan
diinisiasi oleh mambran plasma. 1,25(OH)2D berinteraksi dengan VDR yang
berlokasi dalam nukleus sel untuk efek genomiknya atau dalam kaveola membran
plasma untuk efek non genomiknya (respon cepat). VDR merupakan reseptor nuklear
intraseluler yang aktif pada lebih dari 30 jaringan manusia dan aktivitasnya
melibatkan lebih dari 60 gen pada jenis sel yang berbeda. VDR terdistribusi di
berbagai organ dan jaringan sebagai berikut : sistem kardiovaskuler :
kardiomiosit, sel otot polos ; sistem endokrin : sel tiroid C, glandula
paratiroid, pulau Langerhans ; epidermis : folikel rambut, keratosit ; sistem
gastrointestinal : lambung, esofagus, intestinal, hati ; sistem imun : timus,
limfosit T dan B, sumsum tulang ; sistem ginjal : daerah asenden tubulus Henle,
sel jukstaglomerular ; sistem respirasi
: epitel alveolar ; sistem osteomuskular : osteoblas, kondrosit, otot stria ;
sistem reproduksi : testis, ovarium, dan uterus ; sistem saraf pusat : neuron
(Vuolo L, 2012).
Jalur
non genomik mungkin bekerja sama dengan jalur genomik klasik. Sinyal non genomik
bersifat cepat, tidak bergantung pada transkripsi dan mungkin secara tidak
langsung mempengaruhi transkripsi melalui cross-talk
dengan jalur sinyal lain. Beberapa data menunjukkan bahwa efek non genomik
dimulai di membran plasma dan melibatkan reseptor membran non klasik dan
reseptor baru untuk 1,25(OH)2D yang disebut 1,25D3-MARRS (membrane-associated, rapid response steroid-binding). Efek non
genomik kalsitriol menginduksi translokasi cepat kalsium melintasi membran
mukosa intestinal. Ikatan 1,25(OH)2D pada membran plasma dapat menyebabkan
aktivasi satu atau lebih sistem second
messenger, termasuk fosfolipase C, PKC, reseptor protein-coupled G, atau PI3K (Vuolo L, 2012).
1. PERAN VITAMIN D PADA KANKER
Keterkaitan
antara vitamin D dan kanker pertama kali dipaparkan oleh Garland dan Garland
pada tahun 1980 yang menemukan bahwa kejadian kanker kolon lebih tinggi di
Amerika Utara dibandingkan dengan Amerika Selatan karena produksi vitamin D
yang diinduksi sinar ultra violet di kulit. Penelitian ekologik memaparkan hipotesis “sunlight” untuk 18 jenis kanker yang
berbeda. Meskipun penelitian ekologik
tersebut mempunyai bukti ilmiah yang lemah namun bukti lain menunjukkan bahwa
vitamin D dan metabolit aktifnya mempunyai efek inhibisi langsung terhadap
perkembangan dan progresi berbagai jenis kanker. Banyak penelitian berbasis populasi membuktikan bahwa kadar
vitamin D yang rendah terkait dengan peningkatan risiko kanker kolon, payudara
dan prostat dan kanker lainnya. Penelitian
pada hewan juga membuktikan bahwa defisiensi vitamin D berat atau delesi
gen VDR meningkatkan risiko kanker. Banyak pula penelitian yang menunjukkan reduksi kanker, baik insiden
maupun ukuran tumor, pada hewan yang diinjeksi analog kimia vitamin D (Fleet JC, 2012).
Secara khusus, baik
sel berproliferasi benigna maupun maligna mengekspresikan VDR. Kalsitriol
terikat dengan VDR membentuk heterodimer dengan RXR (retinoid X receptor) dan ligannya dan dimers ini menempati
rangkaian nukleotida spesifik (VDRE). Dengan bantuan beberapa faktor
transkripsi kompleks ini menyebabkan transkripsi gen yang berespon terhadap
vitamin D. Diantara banyak transkripsi gen yang diaktifkan oleh kalsitriol
adalah CYP24A1, osteokalsin, dan CDKN1A, gen yang diinduksi oleh kerusakan DNA
dan hambatan pertumbuhan gen GADD45, sementara gen hormon paratiroid ditekan
oleh kalsitriol (Vuolo L, 2012).
Efek 1,25(OH)2D terhadap
Apoptosis
Berbagai
penelitian telah melaporkan bahwa 1,25(OH)2D mempengaruhi apoptosis pada kanker
payudara dan kolon. 1,25(OH)2D memicu apoptosis melalui mekanisme yang
bergantung pada peningkatan regulasi PTEN (phosphatase
and tensin homolog) yang dimediasi oleh VDR. PTEN adalah gen supressor
tumor yang menurunkan jalur sinyal anti apoptosis Akt. Pada kanker kolorektal
pemberian 1,25(OH)2D meningkatkan apoptosis basal dan yang diinduksi oleh
kemoterapi melalui mekanisme yang sensitif terhadap sintesis VDR yang diinduksi
oleh SPARC (secreted protein acidic and
rich in cysteine). Selain itu 1,25(OH)2D juga meregulasi G0S2 (G0/G1 switch gene 2) yang merupakan
protein pro apoptosis yang ekspresinya sering tertekan pada kanker (Fleet JC, 2012).
Protein anti
apoptosis Bcl-2 yang mengalami overekspresi pada berbagai tumor, regulasinya
menurun oleh 1,25(OH)2D3 atau analognya. Pada sel kanker payudara invasif
reduksi protein Bcl-2 disertai oleh peningkatan protein proasan sitokrom c dari
mitokondria. Pada beberapa jenis kanker vitamin D menstimulasi pelepasan
sitokrom c dari mitokondria. Mekanisme efek apoptosis melalui penurunan
regulasi anti apoptotik reseptor IGF, peningkatan regulasi molekul sinyal pro
apoptotik MEK kinase 1, aktivasi jalur sinyal sfingomielin-seramid-gangliosid,
reduksi ekspresi Akt, peningkatan aktivitas agen pro apoptotik TNF α, dan
peningkatan mobilisasi kalsium sitosol (Beer TM, 2004).
Efek 1,25(OH)2D terhadap Proliferasi dan Differensiasi
Banyak yang percaya
bahwa sel target untuk efek anti kanker dari vitamin D adalah sel tumor dan sel
normal yang bertransformasi menjadi sel tumor. Hal ini terkait dengan efek
1,25(OH)2D sebagai inhibitor pertumbuhan sel epitel yang berproliferasi seperti
yang telah dilaporkan pada kanker kolon, payudara dan prostat. VDR penting
untuk efek inhibisi yang dimediasi oleh 1,25(OH)2D (Fleet JC, 2012).
Efek
1,25(OH)2D terhadap proliferasi dan diferensiasi merupakan efek yang paling
banyak diteliti. Pada hewan coba 1,25(OH)2D menginduksi terhentinya siklus sel
fase G1 pada beberapa lapisan sel, melalui aktivasi transkripsional inhibitor
CDK (cyclin-dependent kinase) yang diduga merupakan mekanisme yang mendasari
terhentinya siklus sel sebagai respon terhadap vitamin D. Namun demikian efek
vitamin D pada inhibitor CDK tidak universal (Beer TM, 2004).
Sinyal
mitogenik lain mungkin juga diinhibisi oleh vitamin D termasuk sinyal melalui
jalur ERK mitogenik/MAPK. 1,25(OH)2D3 juga menyebabkan defosforilasi pada
beberapa kanker. 1,25(OH)2D3 juga menginhibisi proliferasi dengan mengganggu
sinyal growth factor. Pada beberapa hewan coba 1,25(OH)2D3 menurunkan ekspresi
reseptor epidermal growth factor (EGFR), menginduksi transforming growth factor
β dan mengubah komponen sistem IGF. Diferensiasi dapat menyertai inhibisi
pertumbuhan (Beer TM, 2004).
Regulator siklus sel. Banyak peneliti yang telah
melihat efek langsung 1,25(OH)2D terhadap ekspresi gen yang mengontrol
pertumbuhan sel. Sebagai contoh 1,25(OH)2D meregulasi gen yang mengkode CDK (cyclin – dependent kinase) inhibitor p21
pada sel mielomonositik. Selain itu penelitian juga menunjukkan bahwa histon terkait dengan
aktivasi gen yang dimediasi vitamin D banyak pada sel fase G1 dan fase S (Fleet JC, 2012).
Protein FoxO (forkhead box O) merupakan supressor
tumor yang mengontrol proliferasi sel. Fungsi sebagian besar famili FoxO adalah
menginhibisi fosforilasi yang dimediasi MAPK. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa 1,25(OH)2D meregulasi ikatan Fox03a dan FoxO4 dengan DNA dengan
menstimulasi secara langsung interaksi antara VDR, FoxO3a atau FoxO4 dan FoxO
meregulasi Sirt1 (sirtuin 1, histon deasetilase kelas III) dan protein
fosfatase 1. Sirt 1 dan protein fosfatase 1 menyebabkan retensi nuklear protein
FoxO melalui efek berlawanan terhadap fosforilasi yang dimediasi oleh MAPK (Fleet JC, 2012).
Sinyal IGF (insulin-like growth factor). 1,25(OH)2D juga dapat berpengaruh
secara tidak langsung terhadap pertumbuhan sel dengan mengganggu growth factor yang menstimulasi
proliferasi atau dengan meningkatkan produksinya yang memicu diferensiasi sel.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan sel dihambat oleh analog
vitamin D yang terkait dengan peningkatan pelepasan IGFBP3 (IGF binding protein 3) yang dapat
menghambat efek anti apoptosis proproliferatif IIGF1 dan IGF2 melalui ikatannya
dengan keduanya dan membatasi kemapuan keduanya untuk berinteraksi dengan
reseptor permukaan sel. Analog 1,25(OH)2D dan vitamin D juga menginduksi
akumulasi IGFBP3 pada beberapa jenis kanker yang kemudian akan menghambat kerja
IGF2 (Fleet JC, 2012).
Jalur sinyal TGF β (transforming growth factor β). TGFβ2
sangat penting untuk mempertahankan homeostasis jaringan dan merupakan suatu
faktor anti proliferatif pada sel epitel normal dan kanker stadium dini.
1,25(OH)2D dan analognya menginduksi ekspresi reseptor TGFβ1 dan TGFβ2 pada
beberapa kanker melalui mekanisme yang membutuhkan SMAD3 (mothers against decapentaplegic homolog 3) sebagai ko-aktivator (Fleet JC, 2012).
Sinyal Wnt / β katenin. Hipotesis alternatif yang menjelaskan bagaimana vitamin D
memediasi penghambatan pertumbuhan sel adalah gangguan pada fungsi β katenin
yang merupakan mediator terminal sinyal Wnt. Di dalam sitoplasma β katenin
terkait dengan APC (adenomatous polyposis coli). Aktivasi sinyak Wnt
menyebabkan akumulasi β katenin dan pelepasannya dari APC. Β katenin yang bebas
bertranslokasi ke nukleus, terikat dengan TCF (transcripsion factor) 4 pada DNA, dan mengaktifkan transkripsi gen
yang mengontrol proliferasi (misalnya cyclin D1). Mutasi gen APC umumnya
ditemukan pada kanker kolon. 1,25(OH)2D dapat manghambat transkripsi gen yang
dimediasi oleh β katenin dengan menginduksi ikatan VDR pada β katenin yang
kemudian akan mereduksi pembentukan kompleks transkripsi TCF4 – β katenin.
1,25(OH)2D juga secara tidak langsung mempengaruhi fungsi β katenin melalui
peningkatan produksi E kaderin, suatu protein membran yang dapat terikat dengan
β katenin dan mencegah akumulasinya pada nukleus (Fleet JC, 2012).
Efek 1,25(OH)2D terhadap Angiogenesis dan Kemampuan Invasi
Angiogenesis
adalah hal penting untuk ekspansi pertumbuhan dan metastasis tumor. 1,25(OH)2D
dapat menginhibisi perkembangan vaskularisasi tumor, juga secara langsung
menginhibisi proliferasi sel aorta dan endotel yang berasal dari tumor serta
dapat menghentikan pertumbuhan dan perpanjangan vaskuler yang diinduksi oleh
VEGF (vascular endothelial growth factor)
(Fleet JC, 2012).
Studi invitro
menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 mampu menginhibisi kemampuan invasi sel karsinoma
payudara, paru-paru, dan prostat. Inhibisi invivo metastasis tumor juga telah
terbukti pada tikus kanker. Mekanisme yang diduga termasuk inhibisi serin
proteinase (komponen sistem plasminogen activator) dan berkurangnya aktivitas
metalloproteinase, berkurangnya ekspresi integrins, peningkatan ekspresi E
kaderin (suatu supresor tumor yang terkait dengan potensi metastatik sel),
inhibisi tenasin C (protein matriks ekstraseluler yang memicu pertumbuhan,
invasi, dan angiogenesis dan meningkatkan regulasi sel selama tumorigenesis).
Inhibisi angiogenesis juga berkontribusi terhadap aktivitas anti metastatik
1,25(OH)2D3. Pada studi invitro 1,25(OH)2D3 menginhibisi proliferasi sel
endotel tumor dan menginhibisi pertumbuhan dan elongasi sel endotel yang
diinduksi oleh growth factor endotel vaskuler (Beer TM, 2004).
Mekanisme yang
mendasari peran vitamin D pada kanker salah satunya karena vitamin D penting
untuk ekspresi protein yang terlibat pada tight
junction seperti E-cadherin. Biakan jaringan sel epitel normal menunjukkan
bahwa tight junction, desmosom, dan
gap junction merupakan penghubung utama antar sel epitel. Protein
sistem junctional menurun ketika kadar metabolit vitamin D rendah. Jika
hubungan antar sel tidak utuh maka sel dapat terpisah, kehilangan arsitektur
kuboidnya yang normal, dan pembentukan arsitektur yang tidak beraturan
meningkat, dengan kehilangan fungsi dan polaritas apikal-basal. Fenomena ini
disebut decoupling. Decoupling juga
dapat terjadi jika kadar kalsium rendah. Tight
junction mengandung protein termasuk E-cadherin yang merupakan lem
interseluler yang meningkat sebagai respon terhadap aktivasi vitamin response
element pada gen yang mengatur sintesisnya. Vitamin D meningkatkan regulasi
protein ini (Garland CF, 2007).
Mekanisme
vitamin D pada kanker sebagian besar dapat dijelaskan bahwa malignansi ditandai
oleh evolusi progresif yang berlangsung terus menerus dari sel normal menjadi
sel maligna. Peran vitamin D pada pembentukan kanker terjadi pada tingkat
decoupling sel epitel. Sel berpasangan dengan sel di dekatnya tidak dapat
berkompetisi satu sama lain karena pergerakannya dibatasi oleh sel di dekatnya.
Jika terjadi decoupling maka gerakan sel menjadi lebih dinamis (Garland
CF, 2007).
Efek Molekuler Lain yang
Diregulasi oleh 1,25(OH)2D yang Berkontribusi
terhadap Aktivitas Anti Kanker
1)
Autofagia
Autofagia
adalah proses yang digunakan oleh sel untuk mengurangi makromolekul sitosol dan
organel dalam lisosom. Meskipun autofagia umumnya dianggap sebagai taktik untuk
perlindungan sel selama stres (seperti starvasi), proses ini juga dapat
digunakan untuk memicu kematian sel kanker dan untuk menghambat pertumbuhan
tumor. Pada leukemia 1,25(OH)2D menekan aktifitas anti autofagik mTOR (mammalian target of rapamycin) disertai
peningkatan kadar protein pro autofagik beclin 1. 1,25(OH)2D juga meningkatkan
interaksi antara beclin 1 dan PI3K (pro autofagik) atau protein anti apoptotik
Bcl-X1 yang menyebabkan penurunan apoptosis (Fleet JC, 2012).
2)
Mekanisme
antioksidan dan perbaikan DNA
Kerusakan
DNA yang diinduksi stres oksidatif dan kehilangan mekanisme perbaikan DNA
berkontribusi terhadap karsinogenesis, namun efek ini dapat dicegah dengan
induksi mekanisme anti oksidan yang mengurangi efek biologik ROS. Kerusakan DNA
oksidatif meningkat pada epitel kolon distal pada VDR-knockout mice dan
berkurang dengan suplemetasi 800 IU per hari vitamin D3. 1,25(OH)2D atau analog
vitamin D menginduksi ekspresi TXNRD1 (tioredoksin reduktase 1) suatu protein
yang menjaga tioredoksin tetap dalam keadaan tereduksi untuk menjalankan
perannya sebagai anti oksidan. Kadar mRNA SOD diinduksi oleh 1,25(OH)2D.
Aktivitas SOD yang diinduksi oleh 1,25(OH)2D juga terlihat pada tikus yang
diterapi dietilnitrosamin dan terkait dengan berkurangnya kerusakan DNA.
1,25(OH)2D menginduksi G6PD (glukosa 6 fosfatase dehidrogenase) yang merupakan
enzim yang terlibat dalam mempertahankan kadar glutathion tereduksi dalam sel (Fleet JC, 2012).
3)
Metabolisme
dan kerja prostaglandin
Berbagai
penelitian membuktikan bahwa sinyal prostaglandin menstimulasi pertumbuhan sel
dan progresi kanker. COX 1 dan COX 2 merupakan enzim untuk sintesis
prostaglandin. 1,25(OH)2D merupakan regulator negatif untuk sintesis dan sinyal
prostaglandin. 1,25(OH)2D menekan ekspresi COX 2, mengurangi ekspresi reseptor
prostaglandin dan menginduksi ekspresi 15 PGDH (hidroprostaglandin
dehidrogenasi 15-NAD), suatu enzim yang menonaktifkan prostaglandin. Yang
paling penting, 1,25(OH)2D mengurangi kadar PGE2, menghambat induksi mRNA c-fos yang dimediasi oleh
prostaglandin dan mengurangi efek stimulasi pertumbuhan prostaglandin dan
prekursor prostaglandin. Namun demikian efek ini masih belum konsisten (Fleet JC, 2012).
4)
Regulasi
fungsi sel imun
Pertahanan
lini pertama terhadap patogen dan lingkungan adalah epitel paru-paru, kulit dan
intestinal. Terdapat bukti bahwa sinyal 1,25(OH)2D melalui VDR membantu
mempertahankan fungsi barrier intestinal. 1,25(OH)2D menginduksi ekspresi tight junction dan protein adhesi (E
kaderin, ZO1 (zona occludin),
vinkulin) serta memicu translokasi ZO1 ke membran plasma (Fleet JC, 2012).
Terdapat
tiga peran sistem imun dalam pencegahan kanker. Pertama, melindungi host
melawan infeksi virus dan menekan tumor yang diinduksi oleh virus. Kedua,
menekan inflamasi yang memfasilitasi tumorigenesis dengan secara efektif
mengeliminasi patogen dan membatasi periode inflamasi yang dapat memicu
karsinogenesis. Ketiga, melakukan imunosurveilans yang mengeliminasi sel tumor
baru dengan mengaktifkan reseptor pada sel imun bawaan dan limfosit sistem imun
adaptif. Sel sistem imun merupakan target penting untuk terapi kanker (Fleet JC, 2012).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D meregulasi sel imun
bawaan maupun adaptif. Sistem imun bawaan berinteraksi dengan vitamin D melalui
beberapa mekanisme. Pertama, peran utama makrofag untuk menelan dan membunuh
bakteri. Mikroba yang berinvasi dapat memicu inflamasi ketika jaringan barrier
bocor misalnya pada penyakit Crohn atau kolitis. 1,25(OH)2D meregulasi beberapa
gen pada sel sistem imun bawaan yang penting untuk autofagia dan efek anti
mikroba. Gen katelisidin dan β defensin diaktifkan pada terapi 1,25(OH)2D
melalui VDRE. Selain itu 1,25(OH)2D juga menstimulasi ekspresi NOD 2 (nucleotide-binding oligomerizatin domain)
(Fleet JC, 2012).
Pada
sistem imun adaptif, beberapa sub populasi limfosit T mengekspresikan VDR dan
merupakan sel target vitamin D. 1,25(OH)2D merupakan modulator respon imun yang
dimediasi oleh sel T. Secara in vitro 1,25(OH)2D dapat menekan sinyak NF kB
yang penting untuk aktivasi sel T helper, meningkatkan aktivitas sel T
regulator yang penting untuk imunosupresi, dan menghambat perkembangan sel Th17
dan Th9 yang penting untuk patogenesis penyakit autoimun dan inflamasi (Fleet JC, 2012).
Pada
kanker prostat 1,25(OH)2D juga mengurangi kadar mRNA sitokin pro angiogenik IL8
dengan mereduksi translokasi subunit p65
NF kB ke nukleus sehingga membatasi transkripsi gen IL 8 yang dimediasi
oleh NF kB. Efek ini juga belum konsisten (Fleet
JC, 2012).
DOSIS
VITAMIN D PADA KANKER
Sampai
saat ini penelitian tentang dosis vitamin D dalam penatalaksanaan kanker masih
terbatas. Sebagian besar penelitian hanya melihat kadar vitamin D pada pasien
kanker sementara sebagian penelitian gagal membuktikan efek vitamin D pada
perbaikan kanker (Buttigliero C, 2011).
Suatu
penelitian kohort terhadap pasien kanker payudara pre menopause menunjukkan
bahwa prevalensi defisiensi vitamin D (< 20 ng/ml atau 50 nmol/l) adalah
74%. Dengan suplementasi vitamin D3 400 IU/hari, 15% pasien mengalami
peningkatan kadar vitamin D menjadi normal (˃ 30 ng/ml atau ˃ 75 nmol/l. Penelitian lain yang memberikan suplementasi
vitamin D3 8000 IU/hari menunjukkan peningkatan kadar 25(OH)D dari 19,7 ng/ml
menjadi 37,6 ng/ml. Penelitian lain yang membandingkan suplementasi vitamin D
dosis rendah 1000 IU/hari dengan vitamin D dosis tinggi (50000 IU/minggu)
menunjukkan bahwa peningkatan kadar 25(OH)D yang signifikan hanya terjadi pada
pemberian dosis tinggi (Crew KD, 2013).
Pada
tahun-tahun terakhir penelitian membuktikan bahwa dosis vitamin D 10000 IU/hari
cukup aman. Karena dosis vitamin D untuk
terapi kanker masih diperdebatkan maka saat ini banyak penelitian uji klinik
yang dilakukan (Crew KD, 2013).
Selain penelitian
tentang penggunaan vitamin D juga telah dilakukan penelitian tentang penggunaan
kalsitriol sebagai terapi kanker. Namun demikian berbagai uji klinik yang telah
dilakukan tentang pemberian kalsitriol harian sebagai terapi kanker tidak
banyak menunjukkan aktivitas yang berarti. Penelitian oleh Rustin GJS dkk pada
kanker ovarium dengan memberikan kalsitrol 0,5 – 4 μg
tidak memberikan hasil yang signifikan. Begitu pula studi in vivo dan in vitro
oleh Koeffler HP dkk pada sel leukemia dengan dosis kalsitriol 2 μg/hari
selama 12 minggu. Studi in vitro membuktikan bahwa aktivitas anti neoplastik
kalsitriol dapat diperoleh jika kadarnya mencapai 1 nM atau lebih. Oleh karena
kadar ini tidak dapat dicapai dengan pemberian harian per oral maka dilakukan
penelitian dengan dosis intermitten dan pemberian parenteral. Pemberian sub
kutan dengan dosis 8 μg
setiap 2 hari hanya mampu mencapai kadar puncat kalsitriol 0,7 nM.
Selanjutnya dilakukan
uji klinik fase I dengan memberikan dosis 0,06 – 2,8 μg/kg/minggu
selama 4 minggu dan ditemukan kadar puncak kalstriol pada dosis tertinggi
adalah 3,7 – 6,0 nM. Hal ini membuktikan bahwa potensi terapeutik kalsitriol
dapat diperoleh dengan pemberian mingguan. Selanjutnya uji klinik fase II pada
kanker prostat yang diberi kalsitriol 0,5 μg/kg/minggu
selama 10 bulan menunjukkan kadar puncak rata-rata adalah 2 nM dan tidak
ditemukan gejala toksisitas yang berarti. Selain itu terjadi reduksi PSA serum
pada pasien (Beer TM, 2004).
INTERAKSI
VITAMIN D DENGAN TERAPI KANKER
Oleh karena peran vitamin D terhadap modulasi
sistem imun, kemopreventatif dan metabolisme tulang maka monitor kadar vitamin
D serum perlu dilakukan pada terapi kanker. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pemberian kalsitriol tidak mempengaruhi farmakokinetik dosetaksel.
Penelitian lain melaporkan pengaruhnya obat-obatan terhadap metabolisme vitamin
D. Rosuvastatin meningkatkan kadar 25(OH)D3 dan 1,25(OH)2D3 serum namun
demikian fluvastatin tidak memperlihatkan efek yang sama. Simetidin juga tidak
mempengaruhi kadar 25(OH)D3 dan 1,25(OH)2D3 serum (Kennedy DA, 2013).
Pemberian prednison
30 mg/hari mempengaruhi metabolisme vitamin D, mengurangi waktu paruh 25(OH)D3
40 – 60% serta mengurangi respon metabolit vitamin D terhadap absorpsi kalsium
intestinal. Penggunaan cisplatin pada pasien keganasan ginekologik mengurangi
kadar 1,25(OH)2D3. Hal ini mungkin terjadi akibat sifat nefrotoksik cisplatin yang
mengurangi kemampuan ginjal untuk mengkonversi 25(OH)D3 menjadi 1,25(OH)2D3
(Kennedy DA, 2013).
Kalsitriol telah
diteliti dengan kombinasi obat lain dan menunjukkan aktivitas sinergik dan anti
tumor tambahan. Cisplatin dan analognya karboplatin telah digunakan secara luas
sebagai agen perusak DNA, yang aktif digunakan dalam terapi kanker testis,
ovarium, serviks, paru-paru, kandung kemih dan karsinoma sel skuamosa kepala
dan leher. Kalsitriol meningkatkan efek inhibisi pertumbuhan yang dimediasi
oleh cisplatin dan karboplatin, mempotensiasi efek anti tumor cisplatin, memicu
ekspresi MEKK 1(mitogen-activated protein
kinase kinase kinase) dan pembelahan kaspase 3 ketika dikombinasikan dengan
cisplatin pada karsinoma sel skuamosa. Kombinasi dengan cisplatin meningkatkan
apoptosis melalui reduksi ekspresi Bcl 2 dan peningkatan ekspresi Bax (Ma Y,
2010).
Aktivitas anti tumor
kalsitriol juga melibatkan deasetilasi histon. Kombinasi dengan inhibitor
deasetilase histon seperti sodium
butirat atau trikostatin A secara sinergik menekan inhibisi pertumbuhan yang
dimediasi oleh kalsitriol atau analognya pada kanker prostat. Efek ini melalui
pengaruhnya terhadap peningkatan apoptosis daripada induksi penghambatan siklus
sel (Ma Y, 2010).
Selain kemoterapi
vitamin D juga sering dikombinasikan dengan terapi kanker lainnya. Kalsitriol
bekerja sinergis dengan radiasi untuk menghambat pertumbuhan dan apoptosis
kanker (Ma Y, 2010).
Inhibitor COX seperti
asam salisilat atau indometasin bersama kalsitriol menginduksi diferensiasi sel
leukemia menjadi monosit dan penghambatan siklus sel fase G1. Diferensiasi sel
tergantung pada fosforilasi Raf 1. Kombinasi kalsitriol dengan ibuprofen
menghasilkan inhibisi pertumbuhan dan siklus sel yang lebih besar pada kanker
dibandingkan dengan pemberian hanya salah satu obat. Kombinasi analog
kalsitriol dengan vitamin K memicu diferensiasi sel leukemia dan menginduksi
penghambatan siklus sel pada fase G0/G1 dan menekan apoptosis dibandingkan
dengan hanya pemberian vitamin K (Ma Y, 2010).
Deksametason
mempotensiasi efek anti tumor 1,25(OH)2D3 in vitro maupun in vivo. Pada sel
karsinoma sel squamosa efek ini terkait dengan peningkatan protein VDR dan
pengikatan dengan ligan tanpa merubah kadar mRNA VDR atau afinitas ligan.
Deksametason meningkatkan aktivitas antineoplastik yang dimediasi vitamin D.
1,25(OH)2D juga telah diuji dikombinasikan dengan agen kemoterapi. Pada kanker
prostat in vitro kalsitriol meningkatkan aktivitas anti tumor dosetaksel,
paklitaksel, dan mitoksantron. Begitu pula pada kanker payudara dan leukemia.
Namun demikian mekanisme yang mendasari masih belum jelas. 1,25(OH)2D
meningkatkan inhibisi tamoksifen terhadap karsinoma mammae. Kombinasi keduanya
juga meningkatkan apoptosis. Pada studi in vitro 1,25(OH)2D menginhibisi pertumbuhan
sel tumor dan apoptosis secara sinergis dengan radiasi pengion (Beer
TM, 2004).
Interaksi kalsitriol
dengan obat kanker lain meningkatkan aktivitas anti tumor kalsitriol. Pemberian
deksametason dapat mengurangi hiperkalsemia akibat kalsitriol (Ma Y, 2010).
Referensi :
Almatsier S. Bab 8 Vitamin dan Vitamin Larut Lemak.
Dalam : Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009 :
167 – 73.
Aranow C. Vitamin D and Immune System. Journal
of Investigative Medicine. 2011 ; 59 : 6 : 881
Beer TM, Myrthue A. Calcitriol in Cancer
Treatment : From The Lab to The Clinic. Molecular Cancer Therapeutics. 2004 ; 3
: 373 – 81.
Buttigliero C, Monagheddu C, Petroni P,
et.al. Prognostic Role of Vitamin D Status and Efficacy of Vitamin D
Supplementation in Cancer Patients : A Systematic Review. The Oncologist. 2011
; 16 : 1215 – 27.
Catie. Nutrition. Treatment Update. 2011 ;
23 :4 :5 – 11.
Crew KD. Review Article Vitamin D : Are We Ready to
Supplement for Breast Cancer Prevention and Treatment? ISRN Oncology. 2013.
Fleet JC, Desmet M, Johnson R, et.al. Review Article
Vitamin D and Cancer : A Review of Molecular Mechanisms. Biochemical Society. 2012 ; 441 : 61 – 76.
Gupta D, Vashi PG, Trukova K, et.al. Prevalence of Serum
Vitamin D Deficiency and Insufficiency in Cancer : Review of The
Epidemiological Literature. 2011 ; 2 : 181 – 93.
Horton-Szar D. Bab 8 Nutrition In Crash Course Metabolism
and Nutrition. Mosby Elsevier. 2007 : 157.
Kartawiguna E. Faktor-Faktor yang Berperan pada
Karsinogenesis. Jurnal Kedokteran Trisakti. 2001 ; 20 (1) : 16 – 26.
Kennedy DA, Cooley K, Skidmore B, et.al. Review Vitamin D
: Pharmacokinetics and Safety When Used in Conjunction with the Pharmaceutical
Drugs Used in Cancer Patients : A Systematic Review. Cancers. 2013 ; 5 : 255 – 80.
Kulie T, Groff A, Redmen J, et.al. Vitamin D : An
Evidence-Based Review. JABFM. 2009 ;
22 (6) : 698 – 706.
Ma Y, Trump DL, Johnson CS. Review Vitamin D in
Combination Cancer Treatment. Journal of
Cancer. 2010 ; 1 : 101 – 7.
Mahan LK, Escott-Stump S. Chapter 4 Vitamins In :
Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. 11th Ed. Saunders, 2008 ; 83 – 6.
Oliveira PA, Colaco A, Chaves R, et.al. Chemical carcinogenesis. Annals of the
Brazilian Academy of Sciences. 2007 ; 79(4) : 593 – 616.
Pilz S, Kienreich K, Tomaschitz A, et.al. Vitamin D and
Cancer Mortality : Systematic Review of Prospective Epidemiological Studies. Anti-Cancer Agents in Medicinal Chemistry.
2013 ; 13 : 107 – 17.
Pilz S, Tomaschitz A, Obermayer-Pietsch B, et.al. Review
Epidemiology of Vitamin D Insufficiency and Cancer Mortality. Anticancer Research. 2009 ; 29 : 3699 –
704.
Rosai J.
Breast. Ackerman’s Surgical Pathology. New York. Mosby. 2004 ; 52-3.
Salvadori
DMF, Da Silva GN. Genetic Instability in Normal-Appearing and Tumor Urothelium
Cells and The Role of The TP53 Gene in The Toxicogenomic Effects of
Antineoplastic Drugs. InTech. 2013.
Vuolo L, Somma CD, Faggiano A, et.al. Review Article
Vitamin D and Cancer. Frontiers in
Endocrinology. 2012 ; 3 : 58.
WHO IARC. Vitamin D and Cancer. IARC Working Group Reports. Volume 5.
IARC Library Cataloguing in Publication Data. 2008.
Sumber : Referat teman sejawat PPDS Gizi Klinik Unhas
Semoga ilmunya bermanfaat dan menjadi amal jariyah, aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar