Rabu, 15 Januari 2014

Peranan Vitamin D pada Kanker



PERAN VITAMIN D PADA KANKER

1.    KANKER
Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali (Rosai J, 2004).
Transformasi sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang terdiri dari : (Kartawiguna E, 2001)
a)    Fase inisiasi yaitu fase dimana berubahnya sel normal tubuh menjadi sel yang peka. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen.
b)    Fase promosi. Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang.  Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif.   Promosi adalah proses yang menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain (promotor).
c)    Fase progresi. Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Terjadi ekspansi populasi sel-sel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel.

2.    VITAMIN D
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak dan dikenal sebagai sunshine vitamin karena paparan sinar matahari penting untuk memproduksi vitamin D dengan bantuan sinar ultra violet dan kolesterol di kulit. Oleh karena vitamin D dapat diproduksi dalam tubuh, mempunyai target organ spesifik dan tidak perlu disuplai dari diet maka sering dianggap sebagai hormon (Mahan LK, 2008).
Senyawa vitamin D yang penting pada manusia adalah vitamin D3 (kolekalsiferol) dan vitamin D2 (ergokalsiferol). Meskipun disebut vitamin namun tidak esensial terdapat dalam diet karena vitamin D dapat disintesis dalam tubuh dengan paparan sinar matahari (Mahan LK, 2008).
Vitamin D3 dapat dibuat di kulit oleh sinar UVB. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi vitamin D yang adekuat dari kulit tergantung pada kekuatan sinar UVB, lama paparan, latitude, dan jumlah pigmen kulit (Kulie T, 2009).
Meskipun bentuk aktif vitamin D adalah 1,25(OH)2D (1,25-dihidroksivitamin D, 1,25-dihidroksikolekalsiferol), namun tidak dianggap sebagai biomarker yang baik karena mempunyai waktu paruh pendek dan kontrol homeostatis yang ketat. Kadar 25(OH)D serum adalah biomarker status vitamin D yang sangat baik, yang menunjukkan sintesis kulit dan asupan makanan. Penelitian menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D lebih stabil daripada vitamin D yang sangat dipengaruhi oleh paparan UVB, dan 1,25(OH)2D serum tergantung pada kadar hormon paratiroid serum. Karena waktu paruhnya yang relatif panjang (12,9 hari ± 3,6 hari) maka kadar 25(OH)D serum dipertimbangkan sebagai standar terbaik untuk menilai status vitamin D (WHO, 2008).
Kadar vitamin D yang adekuat tergantung pada usia sehingga definisi defisiensi vitamin D bervariasi. Ambang batas yang tepat untuk defisiensi vitamin D masih diperdebatkan. Yang paling banyak diterima adalah kadar optimal serum 25(OH)D adalah 35-55 ng / ml. Satu penelitian  menunjukkan bahwa untuk semua hal yang berhubungan dengan kesehatan, kadar 25(OH)D serum yang paling optimal setidaknya 30 ng / ml, dan untuk pencegahan kanker adalah antara 36 dan 48 ng / ml. Rata-rata pria dan wanita dewasa membutuhkan asupan setidaknya 20-25 mcg (800-1.000 IU) per hari vitamin D untuk mencapai kadar 25(OH)D serum 30 ng / ml (Gupta D, 2011).
American Endocrine Society telah membuat pedoman tentang vitamin D yang menetapkan defisiensi terjadi jika kadar 25(OH)D dalam darah < 50 nmol/l (setara dengan 20 ng/ml). Beberapa penelitian menyimpulkan sebagai berikut (Catie, 2011) :
·         Defisiensi vitamin D jika kadar 25(OH)D ≤ 49 nmol/l
·         Insufisiensi vitamin D jika kadar 50 – 74 nmol/l
·         Normal jika kadar ≥ 75 nmol/l.

Otak, prostat, payudara dan kolon, serta sel imun memiliki reseptor vitamin D (VDR) dan berespon terhadap1,25(OH)2D. Selain itu, jaringan dan sel tersebut mengekspresikan enzim 25-hidroksivitamin D--hidroksilase yang mengubah 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D.  Bentuk aktif vitamin D telah terbukti mempunyai efek regulasi sel yang kuat dalam sel selain keterlibatannya dalam homeostasis kalsium. Efek tersebut diperkirakan dimediasi melalui VDR. Pengikatan VDR oleh 1,25(OH)2D menyebabkan beberapa efek seluler, termasuk induksi diferensiasi dan apoptosis dan inhibisi proliferasi, angiogenesis dan potensi metastatik. Dengan demikian, vitamin D diyakini memainkan peran penting dalam etiologi dan pengobatan kanker (Gupta D, 2011).

Absorpsi, Transportasi dan Penyimpanan
Vitamin D diabsorpsi dalam usus halus bersama lipid dengan bantuan cairan empedu. Vitamin D dari bagian atas usus halus diangkut oleh DBP (vitamin D binding protein) ke tempat-tempat penyimpanan di hati, kulit, otak, tulang dan jaringan lain (Almatsier S, 2009).

Metabolisme Vitamin D
Sintesis endogen vitamin D3 terdiri dari reaksi fotokimia yang diinduksi oleh UVB yang menyebabkan pembentukan previtamin D3 dari provitamin D3 7-dehidrokolesterol (7-DHC) pada lapisan kulit basal dan suprabasal. 7-DHC dibentuk dikulit dari kolesterol oleh ∆7 reduktase yang terdapat pada keratinosit epidermal. Sekitar 65% 7-DHC per unit ditemukan di epidermis dan sisanya di dermis. Spektrum kerja UVB untuk produksi previtamin D3 antara 260 – 315 nm, dengan efektivitas maksimum pada 297 – 303 nm (WHO, 2008).
Efektivitas UVB untuk pembentukan previtamin D3 di kulit dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk molekul yang mengabsorpsi UVB seperti melanin, DNA, RNA, protein, dan kandungan 7-DHC di kulit (WHO, 2008).
Previtamin D3 kemudian mengalami isomerisasi non enzimatik untuk membentuk vitamin D3 dan proses ini tergantung pada temperatur, pada temperatur yang lebih tinggi akan lebih banyak previtamin D3 yang diisomerisasi menjadi vitamin D3. Vitamin D3 yang dibentuk di kulit selanjutnya ke aliran darah oleh DBP dan α-globulin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap vitamin D dan metabolitnya. Ekstraksi vitamin D yang terus menerus dari kulit mencegah akumulasi lokal vitamin D3 dan memungkinkan isomerisasi previtamin D3 menjadi vitamin D3 tetap berlangsung  (WHO, 2008).
Konversi 7-DHC yang dipicu oleh UVB menjadi previtamin D3 merupakan reaksi cepat yang hanya membutuhkan waktu beberapa detik. Sebaliknya waktu paruh isomerisasi previtamin D3 menjadi vitamin D3 di kulit sekitar 2,5 jam. Kadar maksimum vitamin D3 dalam sirkulasi terjadi dalam 12 – 24 jam setelah paparan UVB  (WHO, 2008).
Jumlah vitamin D yang disintesis oleh kulit sangat kecil dibandingkan dengan kadar prekursor 7-DHC. Kulit yang dikenai radiasi ultraviolet secara in vivo memproduksi sekitar 25 ng vitamin D3 per cm2 sesuai kecepatan konversi 7-DHC menjadi vitamin D3 1,3%. Jumlah vitamin D3 yang disintesis di kulit dapat berbeda jika menggunakan sumber UV buatan dibandingkan sinar matahari alami  (WHO, 2008).
Vitamin D3 dibentuk di dalam kulit oleh sinar ultraviolet dari 7-DHC. Faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan provitamin D3 adalah pigmentasi, penggunaan sunscreen dan lamanya waktu paparan.
 
            Vitamin D harus diaktifkan melalui dua proses hidroksilasi. Yang pertama terjadi di hati, yang disintesis oleh enzim 25-hidroksilase (CYP27A1),  menghasilkan kalsidiol [25(OH)D] yang lima kali lebih aktif daripada vitamin D3. Bentuk metabolit ini yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi. Proses hidroksilasi yang kedua terjadi di ginjal dengan bantuan 1-α-hidroksilase menghasilkan kalsitriol [1,25(OH)2D] yang 10 kali lebih aktif dari vitamin D3. Aktifitas 1-α-hidroksilase meningkat dengan adanya hormon paratiroid akibat kadar kalsium plasma yang rendah, sehingga terjadi peningkatan produksi 1,25(OH)2D. Aktifitas enzim ini menurun ketika kadar 1,25(OH)2D meningkat. Sebagian besar vitamin D disimpan dalam bentuk 25(OH)D dalam hati (Mahan LK, 2008 ; Horton-Szar D, 2007 ; Almatsier S, 2009). Jika jumlah 1,25(OH)2D cukup, enzim CYP24A1 memetabolisme 1,25(OH)2D menjadi 1α,24,25-dihidroksivitamin D yang selanjutnya dikatabolisme menjadi asam kalsitroat (WHO, 2008).



Fungsi Vitamin D
Fungsi vitamin D yang sudah banyak diketahui adalah mempertahankan homeostasis kalsium dan fosfor yang terjadi melalui tiga cara. Yang pertama melalui ekspresi gen, 1,25(OH)2D di usus halus mempengaruhi transpor aktif kalsium yang kemudian menstimulasi sintesis calcium binding protein pada mukosa usus. Protein ini meningkatkan absorpsi kalsium. Yang kedua, pada tulang hormon paratiroid sendiri atau bersama dengan 1,25(OH)2D atau estrogen merangsang pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang untuk mempertahankan kadar normal dalam darah. Yang ketiga di ginjal 1,25(OH)2D meningkatkan reabsorpsi kalsium dan fosfat di tubulus ginjal (Mahan LK, 2008). Penelitian terbaru menemukan peran vitamin D terhadap sistem imun. Vitamin D dapat memodulasi respon imun bawaan maupun adaptif (Aranow C, 2011).
Efek anti kanker dan anti inflamasi vitamin D diatur melalui transkripsi gen oleh VDR dan melalui kaskade sinyal non genomik. Vitamin D memblokir siklus sel dan memperlambat pertumbuhan sel, memicu apoptosis, memodulasi angiogenesis dan mengatur metabolisme dan sinyal prostaglandin. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa vitamin D dapat bekerja sinergis dengan agen kemoterapeutik yang berbeda, namun belum pasti apakah vitamin D dapat dimasukkan ke regimen kemoterapeutik pasien kanker (Kennedy DA, 2013).
Mekanisme Kerja Vitamin D
            Efek molekuler utama 1,25(OH)2D melalui transkripsi gen oleh ikatan dengan VDR yang merupakan superfamili reseptor hormon steroid dari faktor transkripsi yang diaktivasi oleh ligan. VDR dapat ditemukan baik di sitoplasma maupun nukleus sel target vitamin D. Terikatnya 1,25(OH)2D dengan VDR memicu hubungan VDR dengan RXR (retinoid X receptor) dan interaksi ini penting untuk aktivitas transkripsi VDR. Banyak data menunjukkan bahwa heterodimerisasi diperlukan untuk migrasi kompleks RXR–VDR–ligan dari sitoplasma ke nukleus dimana kompleks 1,25(OH)2D–VDR–RXR terikat dengan VDRE (vitamin D–response elements) dalam DNA untuk mengawali transkripsi gen  (Fleet JC, 2012).
            Kalsitriol bekerja melalui mekanisme genomik atau non genomik. Pada jalur genomik, kalsitriol terikat dengan VDR intraseluler, yang selanjutnya diheterodimerisasi dengan reseptor nuklear RXR (retinoid X receptor). Heterodimer terikat dengan VDRE pada gen target dan menyebabkan regulasi transkripsi gen. Selain itu kalsitriol mempunyai efek cepat yang tidak tergantung pada regulasi transkripsi gen yang merupakan efek non genomik dan tidak dimediasi secara langsung melalui interaksi reseptor-ligan-DNA steroid. Di sisi lain efek non genomik secara tidak langsung mempengaruhi transkripsi gen melalui regulasi jalur sinyal intraseluler yang menargetkan faktor transkripsi. Kalsitriol menginduksi berbagai respon non genomik termasuk absorpsi kalsium intestinal, pelepasan kalsium dari simpanan intraseluler, pembukaan kanal kalsium dan klorida dan aktivasi protein kinase C, protein kinase A, PI3K dan fosfolipase C (Ma Y, 2010).
Efek farmakologik 1,25(OH)2D secara nyata melalui mekanisme yang dimediasi reseptor nuklear dan diinisiasi oleh mambran plasma. 1,25(OH)2D berinteraksi dengan VDR yang berlokasi dalam nukleus sel untuk efek genomiknya atau dalam kaveola membran plasma untuk efek non genomiknya (respon cepat). VDR merupakan reseptor nuklear intraseluler yang aktif pada lebih dari 30 jaringan manusia dan aktivitasnya melibatkan lebih dari 60 gen pada jenis sel yang berbeda. VDR terdistribusi di berbagai organ dan jaringan sebagai berikut : sistem kardiovaskuler : kardiomiosit, sel otot polos ; sistem endokrin : sel tiroid C, glandula paratiroid, pulau Langerhans ; epidermis : folikel rambut, keratosit ; sistem gastrointestinal : lambung, esofagus, intestinal, hati ; sistem imun : timus, limfosit T dan B, sumsum tulang ; sistem ginjal : daerah asenden tubulus Henle, sel jukstaglomerular ;  sistem respirasi : epitel alveolar ; sistem osteomuskular : osteoblas, kondrosit, otot stria ; sistem reproduksi : testis, ovarium, dan uterus ; sistem saraf pusat : neuron (Vuolo L, 2012).
            Jalur non genomik mungkin bekerja sama dengan jalur genomik klasik. Sinyal non genomik bersifat cepat, tidak bergantung pada transkripsi dan mungkin secara tidak langsung mempengaruhi transkripsi melalui cross-talk dengan jalur sinyal lain. Beberapa data menunjukkan bahwa efek non genomik dimulai di membran plasma dan melibatkan reseptor membran non klasik dan reseptor baru untuk 1,25(OH)2D yang disebut 1,25D3-MARRS (membrane-associated, rapid response steroid-binding). Efek non genomik kalsitriol menginduksi translokasi cepat kalsium melintasi membran mukosa intestinal. Ikatan 1,25(OH)2D pada membran plasma dapat menyebabkan aktivasi satu atau lebih sistem second messenger, termasuk fosfolipase C, PKC, reseptor protein-coupled G, atau PI3K (Vuolo L, 2012). 

1.    PERAN VITAMIN D PADA KANKER
Keterkaitan antara vitamin D dan kanker pertama kali dipaparkan oleh Garland dan Garland pada tahun 1980 yang menemukan bahwa kejadian kanker kolon lebih tinggi di Amerika Utara dibandingkan dengan Amerika Selatan karena produksi vitamin D yang diinduksi sinar ultra violet di kulit. Penelitian  ekologik memaparkan hipotesis “sunlight” untuk 18 jenis kanker yang berbeda. Meskipun penelitian  ekologik tersebut mempunyai bukti ilmiah yang lemah namun bukti lain menunjukkan bahwa vitamin D dan metabolit aktifnya mempunyai efek inhibisi langsung terhadap perkembangan dan progresi berbagai jenis kanker. Banyak penelitian  berbasis populasi membuktikan bahwa kadar vitamin D yang rendah terkait dengan peningkatan risiko kanker kolon, payudara dan prostat dan kanker lainnya. Penelitian  pada hewan juga membuktikan bahwa defisiensi vitamin D berat atau delesi gen VDR meningkatkan risiko kanker. Banyak pula penelitian  yang menunjukkan reduksi kanker, baik insiden maupun ukuran tumor, pada hewan yang diinjeksi analog kimia vitamin D  (Fleet JC, 2012).


Secara khusus, baik sel berproliferasi benigna maupun maligna mengekspresikan VDR. Kalsitriol terikat dengan VDR membentuk heterodimer dengan RXR (retinoid X receptor) dan ligannya dan dimers ini menempati rangkaian nukleotida spesifik (VDRE). Dengan bantuan beberapa faktor transkripsi kompleks ini menyebabkan transkripsi gen yang berespon terhadap vitamin D. Diantara banyak transkripsi gen yang diaktifkan oleh kalsitriol adalah CYP24A1, osteokalsin, dan CDKN1A, gen yang diinduksi oleh kerusakan DNA dan hambatan pertumbuhan gen GADD45, sementara gen hormon paratiroid ditekan oleh kalsitriol (Vuolo L, 2012).

Efek 1,25(OH)2D terhadap Apoptosis
Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa 1,25(OH)2D mempengaruhi apoptosis pada kanker payudara dan kolon. 1,25(OH)2D memicu apoptosis melalui mekanisme yang bergantung pada peningkatan regulasi PTEN (phosphatase and tensin homolog) yang dimediasi oleh VDR. PTEN adalah gen supressor tumor yang menurunkan jalur sinyal anti apoptosis Akt. Pada kanker kolorektal pemberian 1,25(OH)2D meningkatkan apoptosis basal dan yang diinduksi oleh kemoterapi melalui mekanisme yang sensitif terhadap sintesis VDR yang diinduksi oleh SPARC (secreted protein acidic and rich in cysteine). Selain itu 1,25(OH)2D juga meregulasi G0S2 (G0/G1 switch gene 2) yang merupakan protein pro apoptosis yang ekspresinya sering tertekan pada kanker  (Fleet JC, 2012).
Protein anti apoptosis Bcl-2 yang mengalami overekspresi pada berbagai tumor, regulasinya menurun oleh 1,25(OH)2D3 atau analognya. Pada sel kanker payudara invasif reduksi protein Bcl-2 disertai oleh peningkatan protein proasan sitokrom c dari mitokondria. Pada beberapa jenis kanker vitamin D menstimulasi pelepasan sitokrom c dari mitokondria. Mekanisme efek apoptosis melalui penurunan regulasi anti apoptotik reseptor IGF, peningkatan regulasi molekul sinyal pro apoptotik MEK kinase 1, aktivasi jalur sinyal sfingomielin-seramid-gangliosid, reduksi ekspresi Akt, peningkatan aktivitas agen pro apoptotik TNF α, dan peningkatan mobilisasi kalsium sitosol (Beer TM, 2004).

Efek 1,25(OH)2D terhadap Proliferasi dan Differensiasi
Banyak yang percaya bahwa sel target untuk efek anti kanker dari vitamin D adalah sel tumor dan sel normal yang bertransformasi menjadi sel tumor. Hal ini terkait dengan efek 1,25(OH)2D sebagai inhibitor pertumbuhan sel epitel yang berproliferasi seperti yang telah dilaporkan pada kanker kolon, payudara dan prostat. VDR penting untuk efek inhibisi yang dimediasi oleh 1,25(OH)2D (Fleet JC, 2012).
Efek 1,25(OH)2D terhadap proliferasi dan diferensiasi merupakan efek yang paling banyak diteliti. Pada hewan coba 1,25(OH)2D menginduksi terhentinya siklus sel fase G1 pada beberapa lapisan sel, melalui aktivasi transkripsional inhibitor CDK (cyclin-dependent kinase) yang diduga merupakan mekanisme yang mendasari terhentinya siklus sel sebagai respon terhadap vitamin D. Namun demikian efek vitamin D pada inhibitor CDK tidak universal (Beer TM, 2004).
Sinyal mitogenik lain mungkin juga diinhibisi oleh vitamin D termasuk sinyal melalui jalur ERK mitogenik/MAPK. 1,25(OH)2D3 juga menyebabkan defosforilasi pada beberapa kanker. 1,25(OH)2D3 juga menginhibisi proliferasi dengan mengganggu sinyal growth factor. Pada beberapa hewan coba 1,25(OH)2D3 menurunkan ekspresi reseptor epidermal growth factor (EGFR), menginduksi transforming growth factor β dan mengubah komponen sistem IGF. Diferensiasi dapat menyertai inhibisi pertumbuhan (Beer TM, 2004).
 
Regulator siklus sel. Banyak peneliti yang telah melihat efek langsung 1,25(OH)2D terhadap ekspresi gen yang mengontrol pertumbuhan sel. Sebagai contoh 1,25(OH)2D meregulasi gen yang mengkode CDK (cyclin – dependent kinase) inhibitor p21 pada sel mielomonositik. Selain itu penelitian  juga menunjukkan bahwa histon terkait dengan aktivasi gen yang dimediasi vitamin D banyak pada sel fase G1 dan fase S  (Fleet JC, 2012).
Protein FoxO (forkhead box O) merupakan supressor tumor yang mengontrol proliferasi sel. Fungsi sebagian besar famili FoxO adalah menginhibisi fosforilasi yang dimediasi MAPK. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D meregulasi ikatan Fox03a dan FoxO4 dengan DNA dengan menstimulasi secara langsung interaksi antara VDR, FoxO3a atau FoxO4 dan FoxO meregulasi Sirt1 (sirtuin 1, histon deasetilase kelas III) dan protein fosfatase 1. Sirt 1 dan protein fosfatase 1 menyebabkan retensi nuklear protein FoxO melalui efek berlawanan terhadap fosforilasi yang dimediasi oleh MAPK  (Fleet JC, 2012).
Sinyal IGF (insulin-like growth factor). 1,25(OH)2D juga dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap pertumbuhan sel dengan mengganggu growth factor yang menstimulasi proliferasi atau dengan meningkatkan produksinya yang memicu diferensiasi sel. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan sel dihambat oleh analog vitamin D yang terkait dengan peningkatan pelepasan IGFBP3 (IGF binding protein 3) yang dapat menghambat efek anti apoptosis proproliferatif IIGF1 dan IGF2 melalui ikatannya dengan keduanya dan membatasi kemapuan keduanya untuk berinteraksi dengan reseptor permukaan sel. Analog 1,25(OH)2D dan vitamin D juga menginduksi akumulasi IGFBP3 pada beberapa jenis kanker yang kemudian akan menghambat kerja IGF2  (Fleet JC, 2012).
Jalur sinyal TGF β (transforming growth factor β). TGFβ2 sangat penting untuk mempertahankan homeostasis jaringan dan merupakan suatu faktor anti proliferatif pada sel epitel normal dan kanker stadium dini. 1,25(OH)2D dan analognya menginduksi ekspresi reseptor TGFβ1 dan TGFβ2 pada beberapa kanker melalui mekanisme yang membutuhkan SMAD3 (mothers against decapentaplegic homolog 3) sebagai ko-aktivator  (Fleet JC, 2012).
Sinyal Wnt / β katenin. Hipotesis alternatif yang menjelaskan bagaimana vitamin D memediasi penghambatan pertumbuhan sel adalah gangguan pada fungsi β katenin yang merupakan mediator terminal sinyal Wnt. Di dalam sitoplasma β katenin terkait dengan APC (adenomatous polyposis coli). Aktivasi sinyak Wnt menyebabkan akumulasi β katenin dan pelepasannya dari APC. Β katenin yang bebas bertranslokasi ke nukleus, terikat dengan TCF (transcripsion factor) 4 pada DNA, dan mengaktifkan transkripsi gen yang mengontrol proliferasi (misalnya cyclin D1). Mutasi gen APC umumnya ditemukan pada kanker kolon. 1,25(OH)2D dapat manghambat transkripsi gen yang dimediasi oleh β katenin dengan menginduksi ikatan VDR pada β katenin yang kemudian akan mereduksi pembentukan kompleks transkripsi TCF4 – β katenin. 1,25(OH)2D juga secara tidak langsung mempengaruhi fungsi β katenin melalui peningkatan produksi E kaderin, suatu protein membran yang dapat terikat dengan β katenin dan mencegah akumulasinya pada nukleus  (Fleet JC, 2012).

Efek 1,25(OH)2D terhadap Angiogenesis dan Kemampuan Invasi
Angiogenesis adalah hal penting untuk ekspansi pertumbuhan dan metastasis tumor. 1,25(OH)2D dapat menginhibisi perkembangan vaskularisasi tumor, juga secara langsung menginhibisi proliferasi sel aorta dan endotel yang berasal dari tumor serta dapat menghentikan pertumbuhan dan perpanjangan vaskuler yang diinduksi oleh VEGF (vascular endothelial growth factor) (Fleet JC, 2012).
Studi invitro menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 mampu menginhibisi kemampuan invasi sel karsinoma payudara, paru-paru, dan prostat. Inhibisi invivo metastasis tumor juga telah terbukti pada tikus kanker. Mekanisme yang diduga termasuk inhibisi serin proteinase (komponen sistem plasminogen activator) dan berkurangnya aktivitas metalloproteinase, berkurangnya ekspresi integrins, peningkatan ekspresi E kaderin (suatu supresor tumor yang terkait dengan potensi metastatik sel), inhibisi tenasin C (protein matriks ekstraseluler yang memicu pertumbuhan, invasi, dan angiogenesis dan meningkatkan regulasi sel selama tumorigenesis). Inhibisi angiogenesis juga berkontribusi terhadap aktivitas anti metastatik 1,25(OH)2D3. Pada studi invitro 1,25(OH)2D3 menginhibisi proliferasi sel endotel tumor dan menginhibisi pertumbuhan dan elongasi sel endotel yang diinduksi oleh growth factor endotel vaskuler (Beer TM, 2004).
Mekanisme yang mendasari peran vitamin D pada kanker salah satunya karena vitamin D penting untuk ekspresi protein yang terlibat pada tight junction seperti E-cadherin. Biakan jaringan sel epitel normal menunjukkan bahwa tight junction, desmosom, dan gap junction merupakan penghubung utama antar sel epitel. Protein sistem junctional menurun ketika kadar metabolit vitamin D rendah. Jika hubungan antar sel tidak utuh maka sel dapat terpisah, kehilangan arsitektur kuboidnya yang normal, dan pembentukan arsitektur yang tidak beraturan meningkat, dengan kehilangan fungsi dan polaritas apikal-basal. Fenomena ini disebut decoupling. Decoupling juga dapat terjadi jika kadar kalsium rendah. Tight junction mengandung protein termasuk E-cadherin yang merupakan lem interseluler yang meningkat sebagai respon terhadap aktivasi vitamin response element pada gen yang mengatur sintesisnya. Vitamin D meningkatkan regulasi protein ini (Garland CF, 2007).
Mekanisme vitamin D pada kanker sebagian besar dapat dijelaskan bahwa malignansi ditandai oleh evolusi progresif yang berlangsung terus menerus dari sel normal menjadi sel maligna. Peran vitamin D pada pembentukan kanker terjadi pada tingkat decoupling sel epitel. Sel berpasangan dengan sel di dekatnya tidak dapat berkompetisi satu sama lain karena pergerakannya dibatasi oleh sel di dekatnya. Jika terjadi decoupling maka gerakan sel menjadi lebih dinamis (Garland CF, 2007).
Efek Molekuler Lain yang Diregulasi oleh 1,25(OH)2D yang  Berkontribusi terhadap Aktivitas Anti Kanker
1)    Autofagia
Autofagia adalah proses yang digunakan oleh sel untuk mengurangi makromolekul sitosol dan organel dalam lisosom. Meskipun autofagia umumnya dianggap sebagai taktik untuk perlindungan sel selama stres (seperti starvasi), proses ini juga dapat digunakan untuk memicu kematian sel kanker dan untuk menghambat pertumbuhan tumor. Pada leukemia 1,25(OH)2D menekan aktifitas anti autofagik mTOR (mammalian target of rapamycin) disertai peningkatan kadar protein pro autofagik beclin 1. 1,25(OH)2D juga meningkatkan interaksi antara beclin 1 dan PI3K (pro autofagik) atau protein anti apoptotik Bcl-X1 yang menyebabkan penurunan apoptosis  (Fleet JC, 2012).

2)     Mekanisme antioksidan dan perbaikan DNA
Kerusakan DNA yang diinduksi stres oksidatif dan kehilangan mekanisme perbaikan DNA berkontribusi terhadap karsinogenesis, namun efek ini dapat dicegah dengan induksi mekanisme anti oksidan yang mengurangi efek biologik ROS. Kerusakan DNA oksidatif meningkat pada epitel kolon distal pada VDR-knockout mice dan berkurang dengan suplemetasi 800 IU per hari vitamin D3. 1,25(OH)2D atau analog vitamin D menginduksi ekspresi TXNRD1 (tioredoksin reduktase 1) suatu protein yang menjaga tioredoksin tetap dalam keadaan tereduksi untuk menjalankan perannya sebagai anti oksidan. Kadar mRNA SOD diinduksi oleh 1,25(OH)2D. Aktivitas SOD yang diinduksi oleh 1,25(OH)2D juga terlihat pada tikus yang diterapi dietilnitrosamin dan terkait dengan berkurangnya kerusakan DNA. 1,25(OH)2D menginduksi G6PD (glukosa 6 fosfatase dehidrogenase) yang merupakan enzim yang terlibat dalam mempertahankan kadar glutathion tereduksi dalam sel  (Fleet JC, 2012).

3)     Metabolisme dan kerja prostaglandin
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sinyal prostaglandin menstimulasi pertumbuhan sel dan progresi kanker. COX 1 dan COX 2 merupakan enzim untuk sintesis prostaglandin. 1,25(OH)2D merupakan regulator negatif untuk sintesis dan sinyal prostaglandin. 1,25(OH)2D menekan ekspresi COX 2, mengurangi ekspresi reseptor prostaglandin dan menginduksi ekspresi 15 PGDH (hidroprostaglandin dehidrogenasi 15-NAD), suatu enzim yang menonaktifkan prostaglandin. Yang paling penting, 1,25(OH)2D mengurangi kadar PGE2, menghambat  induksi mRNA c-fos yang dimediasi oleh prostaglandin dan mengurangi efek stimulasi pertumbuhan prostaglandin dan prekursor prostaglandin. Namun demikian efek ini masih belum konsisten  (Fleet JC, 2012).

4)     Regulasi fungsi sel imun
Pertahanan lini pertama terhadap patogen dan lingkungan adalah epitel paru-paru, kulit dan intestinal. Terdapat bukti bahwa sinyal 1,25(OH)2D melalui VDR membantu mempertahankan fungsi barrier intestinal. 1,25(OH)2D menginduksi ekspresi tight junction dan protein adhesi (E kaderin, ZO1 (zona occludin), vinkulin) serta memicu translokasi ZO1 ke membran plasma  (Fleet JC, 2012).
Terdapat tiga peran sistem imun dalam pencegahan kanker. Pertama, melindungi host melawan infeksi virus dan menekan tumor yang diinduksi oleh virus. Kedua, menekan inflamasi yang memfasilitasi tumorigenesis dengan secara efektif mengeliminasi patogen dan membatasi periode inflamasi yang dapat memicu karsinogenesis. Ketiga, melakukan imunosurveilans yang mengeliminasi sel tumor baru dengan mengaktifkan reseptor pada sel imun bawaan dan limfosit sistem imun adaptif. Sel sistem imun merupakan target penting untuk terapi kanker  (Fleet JC, 2012).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D meregulasi sel imun bawaan maupun adaptif. Sistem imun bawaan berinteraksi dengan vitamin D melalui beberapa mekanisme. Pertama, peran utama makrofag untuk menelan dan membunuh bakteri. Mikroba yang berinvasi dapat memicu inflamasi ketika jaringan barrier bocor misalnya pada penyakit Crohn atau kolitis. 1,25(OH)2D meregulasi beberapa gen pada sel sistem imun bawaan yang penting untuk autofagia dan efek anti mikroba. Gen katelisidin dan β defensin diaktifkan pada terapi 1,25(OH)2D melalui VDRE. Selain itu 1,25(OH)2D juga menstimulasi ekspresi NOD 2 (nucleotide-binding oligomerizatin domain) (Fleet JC, 2012).
Pada sistem imun adaptif, beberapa sub populasi limfosit T mengekspresikan VDR dan merupakan sel target vitamin D. 1,25(OH)2D merupakan modulator respon imun yang dimediasi oleh sel T. Secara in vitro 1,25(OH)2D dapat menekan sinyak NF kB yang penting untuk aktivasi sel T helper, meningkatkan aktivitas sel T regulator yang penting untuk imunosupresi, dan menghambat perkembangan sel Th17 dan Th9 yang penting untuk patogenesis penyakit autoimun dan inflamasi  (Fleet JC, 2012).
Pada kanker prostat 1,25(OH)2D juga mengurangi kadar mRNA sitokin pro angiogenik IL8 dengan mereduksi translokasi subunit p65  NF kB ke nukleus sehingga membatasi transkripsi gen IL 8 yang dimediasi oleh NF kB. Efek ini juga belum konsisten (Fleet JC, 2012).    

DOSIS VITAMIN D PADA KANKER
Sampai saat ini penelitian tentang dosis vitamin D dalam penatalaksanaan kanker masih terbatas. Sebagian besar penelitian hanya melihat kadar vitamin D pada pasien kanker sementara sebagian penelitian gagal membuktikan efek vitamin D pada perbaikan kanker (Buttigliero C, 2011).
Suatu penelitian kohort terhadap pasien kanker payudara pre menopause menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D (< 20 ng/ml atau 50 nmol/l) adalah 74%. Dengan suplementasi vitamin D3 400 IU/hari, 15% pasien mengalami peningkatan kadar vitamin D menjadi normal (˃ 30 ng/ml atau ˃ 75 nmol/l.  Penelitian lain yang memberikan suplementasi vitamin D3 8000 IU/hari menunjukkan peningkatan kadar 25(OH)D dari 19,7 ng/ml menjadi 37,6 ng/ml. Penelitian lain yang membandingkan suplementasi vitamin D dosis rendah 1000 IU/hari dengan vitamin D dosis tinggi (50000 IU/minggu) menunjukkan bahwa peningkatan kadar 25(OH)D yang signifikan hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi (Crew KD, 2013).
Pada tahun-tahun terakhir penelitian membuktikan bahwa dosis vitamin D 10000 IU/hari cukup aman.  Karena dosis vitamin D untuk terapi kanker masih diperdebatkan maka saat ini banyak penelitian uji klinik yang dilakukan (Crew KD, 2013).

 
Selain penelitian tentang penggunaan vitamin D juga telah dilakukan penelitian tentang penggunaan kalsitriol sebagai terapi kanker. Namun demikian berbagai uji klinik yang telah dilakukan tentang pemberian kalsitriol harian sebagai terapi kanker tidak banyak menunjukkan aktivitas yang berarti. Penelitian oleh Rustin GJS dkk pada kanker ovarium dengan memberikan kalsitrol 0,5 – 4 μg tidak memberikan hasil yang signifikan. Begitu pula studi in vivo dan in vitro oleh Koeffler HP dkk pada sel leukemia dengan dosis kalsitriol 2 μg/hari selama 12 minggu. Studi in vitro membuktikan bahwa aktivitas anti neoplastik kalsitriol dapat diperoleh jika kadarnya mencapai 1 nM atau lebih. Oleh karena kadar ini tidak dapat dicapai dengan pemberian harian per oral maka dilakukan penelitian dengan dosis intermitten dan pemberian parenteral. Pemberian sub kutan dengan dosis 8 μg setiap 2 hari hanya mampu mencapai kadar puncat kalsitriol 0,7 nM.
Selanjutnya dilakukan uji klinik fase I dengan memberikan dosis 0,06 – 2,8 μg/kg/minggu selama 4 minggu dan ditemukan kadar puncak kalstriol pada dosis tertinggi adalah 3,7 – 6,0 nM. Hal ini membuktikan bahwa potensi terapeutik kalsitriol dapat diperoleh dengan pemberian mingguan. Selanjutnya uji klinik fase II pada kanker prostat yang diberi kalsitriol 0,5 μg/kg/minggu selama 10 bulan menunjukkan kadar puncak rata-rata adalah 2 nM dan tidak ditemukan gejala toksisitas yang berarti. Selain itu terjadi reduksi PSA serum pada pasien (Beer TM, 2004).   

INTERAKSI VITAMIN D DENGAN TERAPI KANKER
             Oleh karena peran vitamin D terhadap modulasi sistem imun, kemopreventatif dan metabolisme tulang maka monitor kadar vitamin D serum perlu dilakukan pada terapi kanker. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian kalsitriol tidak mempengaruhi farmakokinetik dosetaksel. Penelitian lain melaporkan pengaruhnya obat-obatan terhadap metabolisme vitamin D. Rosuvastatin meningkatkan kadar 25(OH)D3 dan 1,25(OH)2D3 serum namun demikian fluvastatin tidak memperlihatkan efek yang sama. Simetidin juga tidak mempengaruhi kadar 25(OH)D3 dan 1,25(OH)2D3 serum (Kennedy DA, 2013).
Pemberian prednison 30 mg/hari mempengaruhi metabolisme vitamin D, mengurangi waktu paruh 25(OH)D3 40 – 60% serta mengurangi respon metabolit vitamin D terhadap absorpsi kalsium intestinal. Penggunaan cisplatin pada pasien keganasan ginekologik mengurangi kadar 1,25(OH)2D3. Hal ini mungkin terjadi akibat sifat nefrotoksik cisplatin yang mengurangi kemampuan ginjal untuk mengkonversi 25(OH)D3 menjadi 1,25(OH)2D3 (Kennedy DA, 2013).
Kalsitriol telah diteliti dengan kombinasi obat lain dan menunjukkan aktivitas sinergik dan anti tumor tambahan. Cisplatin dan analognya karboplatin telah digunakan secara luas sebagai agen perusak DNA, yang aktif digunakan dalam terapi kanker testis, ovarium, serviks, paru-paru, kandung kemih dan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher. Kalsitriol meningkatkan efek inhibisi pertumbuhan yang dimediasi oleh cisplatin dan karboplatin, mempotensiasi efek anti tumor cisplatin, memicu ekspresi MEKK 1(mitogen-activated protein kinase kinase kinase) dan pembelahan kaspase 3 ketika dikombinasikan dengan cisplatin pada karsinoma sel skuamosa. Kombinasi dengan cisplatin meningkatkan apoptosis melalui reduksi ekspresi Bcl 2 dan peningkatan ekspresi Bax (Ma Y, 2010).
Aktivitas anti tumor kalsitriol juga melibatkan deasetilasi histon. Kombinasi dengan inhibitor deasetilase histon  seperti sodium butirat atau trikostatin A secara sinergik menekan inhibisi pertumbuhan yang dimediasi oleh kalsitriol atau analognya pada kanker prostat. Efek ini melalui pengaruhnya terhadap peningkatan apoptosis daripada induksi penghambatan siklus sel (Ma Y, 2010).
Selain kemoterapi vitamin D juga sering dikombinasikan dengan terapi kanker lainnya. Kalsitriol bekerja sinergis dengan radiasi untuk menghambat pertumbuhan dan apoptosis kanker (Ma Y, 2010).
Inhibitor COX seperti asam salisilat atau indometasin bersama kalsitriol menginduksi diferensiasi sel leukemia menjadi monosit dan penghambatan siklus sel fase G1. Diferensiasi sel tergantung pada fosforilasi Raf 1. Kombinasi kalsitriol dengan ibuprofen menghasilkan inhibisi pertumbuhan dan siklus sel yang lebih besar pada kanker dibandingkan dengan pemberian hanya salah satu obat. Kombinasi analog kalsitriol dengan vitamin K memicu diferensiasi sel leukemia dan menginduksi penghambatan siklus sel pada fase G0/G1 dan menekan apoptosis dibandingkan dengan hanya pemberian vitamin K (Ma Y, 2010).
Deksametason mempotensiasi efek anti tumor 1,25(OH)2D3 in vitro maupun in vivo. Pada sel karsinoma sel squamosa efek ini terkait dengan peningkatan protein VDR dan pengikatan dengan ligan tanpa merubah kadar mRNA VDR atau afinitas ligan. Deksametason meningkatkan aktivitas antineoplastik yang dimediasi vitamin D. 1,25(OH)2D juga telah diuji dikombinasikan dengan agen kemoterapi. Pada kanker prostat in vitro kalsitriol meningkatkan aktivitas anti tumor dosetaksel, paklitaksel, dan mitoksantron. Begitu pula pada kanker payudara dan leukemia. Namun demikian mekanisme yang mendasari masih belum jelas. 1,25(OH)2D meningkatkan inhibisi tamoksifen terhadap karsinoma mammae. Kombinasi keduanya juga meningkatkan apoptosis. Pada studi in vitro 1,25(OH)2D menginhibisi pertumbuhan sel tumor dan apoptosis secara sinergis dengan radiasi pengion (Beer TM, 2004).  
Interaksi kalsitriol dengan obat kanker lain meningkatkan aktivitas anti tumor kalsitriol. Pemberian deksametason dapat mengurangi hiperkalsemia akibat kalsitriol (Ma Y, 2010).



 
Referensi :

Almatsier S. Bab 8 Vitamin dan Vitamin Larut Lemak. Dalam : Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009 : 167 – 73.
Aranow C. Vitamin D and Immune System. Journal of Investigative Medicine. 2011 ; 59 : 6 : 881
Beer TM, Myrthue A. Calcitriol in Cancer Treatment : From The Lab to The Clinic. Molecular Cancer Therapeutics. 2004 ; 3 : 373 – 81.
Buttigliero C, Monagheddu C, Petroni P, et.al. Prognostic Role of Vitamin D Status and Efficacy of Vitamin D Supplementation in Cancer Patients : A Systematic Review. The Oncologist. 2011 ; 16 : 1215 – 27.
Catie. Nutrition. Treatment Update. 2011 ; 23 :4 :5 – 11.
Crew KD. Review Article Vitamin D : Are We Ready to Supplement for Breast Cancer Prevention and Treatment? ISRN Oncology. 2013.
Fleet JC, Desmet M, Johnson R, et.al. Review Article Vitamin D and Cancer : A Review of Molecular Mechanisms. Biochemical Society. 2012 ; 441 : 61 – 76.
Gupta D, Vashi PG, Trukova K, et.al. Prevalence of Serum Vitamin D Deficiency and Insufficiency in Cancer : Review of The Epidemiological Literature. 2011 ; 2 : 181 – 93.
Horton-Szar D. Bab 8 Nutrition In Crash Course Metabolism and Nutrition. Mosby Elsevier. 2007 : 157.
Kartawiguna E. Faktor-Faktor yang Berperan pada Karsinogenesis. Jurnal Kedokteran Trisakti. 2001 ; 20 (1) : 16 – 26.
Kennedy DA, Cooley K, Skidmore B, et.al. Review Vitamin D : Pharmacokinetics and Safety When Used in Conjunction with the Pharmaceutical Drugs Used in Cancer Patients : A Systematic Review. Cancers. 2013 ; 5 : 255 – 80.
Kulie T, Groff A, Redmen J, et.al. Vitamin D : An Evidence-Based Review. JABFM. 2009 ; 22 (6) : 698 – 706.
Ma Y, Trump DL, Johnson CS. Review Vitamin D in Combination Cancer Treatment. Journal of Cancer. 2010 ; 1 : 101 – 7.
Mahan LK, Escott-Stump S. Chapter 4 Vitamins In : Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. 11th Ed. Saunders, 2008 ; 83 – 6.
Oliveira PA, Colaco A, Chaves R, et.al. Chemical carcinogenesis. Annals of the Brazilian Academy of Sciences. 2007 ; 79(4) : 593 – 616.
Pilz S, Kienreich K, Tomaschitz A, et.al. Vitamin D and Cancer Mortality : Systematic Review of Prospective Epidemiological Studies. Anti-Cancer Agents in Medicinal Chemistry. 2013 ; 13 : 107 – 17.
Pilz S, Tomaschitz A, Obermayer-Pietsch B, et.al. Review Epidemiology of Vitamin D Insufficiency and Cancer Mortality. Anticancer Research. 2009 ; 29 : 3699 – 704.
Rosai J. Breast. Ackerman’s Surgical Pathology. New York. Mosby. 2004 ; 52-3.
Salvadori DMF, Da Silva GN. Genetic Instability in Normal-Appearing and Tumor Urothelium Cells and The Role of The TP53 Gene in The Toxicogenomic Effects of Antineoplastic Drugs. InTech. 2013.
Vuolo L, Somma CD, Faggiano A, et.al. Review Article Vitamin D and Cancer. Frontiers in Endocrinology. 2012 ; 3 : 58.
WHO IARC. Vitamin D and Cancer. IARC Working Group Reports. Volume 5. IARC Library Cataloguing in Publication Data. 2008.
 Sumber : Referat teman sejawat PPDS Gizi Klinik Unhas
Semoga ilmunya bermanfaat dan menjadi amal jariyah, aamiin...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar